Lima tahun yang lalu bumi bergetar dan hampir seperempat juta orang kehilangan kehidupannya, karena tsunami yang bergolak di Samudera Hindia.
Ilmuwan menilai sumber gelombang mematikan itu jelas adalah gempa bumi Sumatera-Andaman 9,2, yang merupakan salah satu yang paling kuat dari yang pernah ada.
Menurut beberapa studi terbaru, justru patahan jauh lebih kecil yang mengirim tembok air setinggi 100 kaki meluncur ke provinsi Aceh.
Jika benar, penemuan itu akan menjelaskan apa yang benar-benar melahirkan bencana tahun 2004.
Gempa terjadi akibat dari patahnya rekahan sepanjang 1.600 kilometer di mana lempeng tektonik India bertabrakan di bawah lempeng Sunda. Rekahan diperkirakan telah tergelincir 20-25 meter dalam waktu hampir seketika.
Banda Aceh terletak dekat bagian dari rekahan yang tidak bergerak sama sekali, namun daerah itu yang paling parah.
Bagaimana mungkin Aceh mengalami kerusakan yang sangat besar seperti itu? Para ilmuwan berpikir sekarang mereka tahu mengapa. Patahan yang lebih dekat ke pantai Sumatra yang diabaikan sebelumnya, pecah hampir pada waktu yang sama dibandingkan sepupunya yang jauh lebih besar.
Felix Waldhauser dari Columbia University dan tim peneliti menganalisis ribuan gempa susulan di wilayah tersebut sejak 2004. Epicenters dari gempa kecil berbaris dengan patahan yang tidak biasa menunjukkan hal itu dan bukan patahan utama yang telah aktif di daerah itu.
Patahan penting yang oleh tim disebut patahan splay (miring ) itu, mengiris plat Sunda jauh lebih dekat ke pantai barat Sumatra, dan dengan sudut yang lebih curam ke dasar laut daripada patahan utama.
Ini berarti bahwa setiap kali patahan melebarkan, hal itu mendorong dasar laut ke atas lebih keras, menyebabkan tsunami yang lebih besar.
"Pengamatan gempa bumi di sepanjang (patahan utama) tidak cukup untuk menghasilkan tsunami yang besar," kata Waldhauser. Ia menyajikan temuan tim pada pertemuan tahunan American Geophysical Union awal bulan ini.
Tim peneliti lain yang dipimpin oleh Satish Singh dari Institut de Physique du Globe de Paris di Prancis menunjukkan dalam model komputer, bahwa patahan miring hanya perlu bergeser 5 meter untuk menghasilkan tsunami besar-besaran yang menelan Banda Aceh, setara dengan gempa 7,8 atau 7,9 Magnitudo.
"Kekhawatiran kami adalah bahwa peristiwa kecil dapat menghasilkan efek yang merusak seperti itu, dan itu tidak akan mendapat perhatian," kata Singh.
Gempa yang lebih kecil itu kemungkinannya akan berulang lebih sering daripada gempa bumi besar, setiap 100-200 tahun sekali.
Singh mengingatakan patahan miring serupa di lepas pantai Padang yang berpenduduk 750 ribu jiwa. Dia mengatakan patahan bisa terjadi dalam dekade berikutnya.(inilah.com)